publikasi

publikasi

Laju Deforestasi sebagai Indikator Kinerja Utama: Tepatkah?

bagikan :

oleh : Sitti Hadijah, S. Kpm, M. Si

Indikator Kinerja Utama (IKU) kerap kali dianggap sebagai hasil akhir keberhasilan suatu instansi/lembaga. Cara pandang ini cenderung bias dan dapat berdampak pada fokus capaian kinerja hanya berhenti pada capaian IKU tersebut. Padahal, IKU dimaksudkan agar suatu instansi dapat menunjukkan kinerjanya dalam mencapai tujuan dan sasaran strategis. Singkatnya IKU hanya instrumen, tujuan dan sasaran strategis lah yang hendak dicapai. Ketika IKU menunjukkan kegagalan, maka hal itu akan menjadi evaluasi untuk peningkatan kinerja kedepan. Keberhasilan IKU pun tidak serta merta menunjukkan sebuah objektivitas pencapaian tujuan. Bisa saja Indikator yang disusun tidak presisi mengukur keberhasilan dari tujuan dan sasaran strategis.

Sekali lagi IKU pada dasarnya merupakan instrumen. Seperti yang tertuang dalam PermenPAN No. PER/20/M.PAN/11/2008 tentang Petunjuk Penyusunan Indikator Kinerja Utama, IKU merupakan salah satu upaya untuk memperkuat akuntabilitas dalam kerangka penerapan tata pemerintahan yang baik (good governance).  Melalui penetapan IKU secara formal dalam suatu lembaga pemerintah, diharapkan akan diperoleh informasi kinerja untuk perbaikan kinerja dan peningkatan akuntabilitas kinerja.

Dalam PermenLHK P.16/2020 tentang Rencana Strategis KLHK Tahun 2020-2024, laju deforestasi merupakan salah satu IKU dari sasaran strategis menurunnya laju penyusutan hutan. Pengukuran laju deforestasi dilakukan setiap periode 2 (dua) tahun. Periode pengukuran terakhir adalah tahun 2018-2019 dengan hasil 0,46 juta ha/tahun. Laju deforestasi tersebut dinilai telah mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Tentu hal ini menjadi capaian penting bagi kinerja KLHK. Pertanyaannya, apakah indikator kinerja tersebut dapat mencerminkan penurunan laju penyusutan hutan secara objektif?

Definisi laju penyusutan hutan tidak ditemukan secara eksplisit di dalam rencana strategis (renstra) KLHK, yang ada hanya target indikator kinerja utama berupa laju deforetasi dalam satuan juta ha/tahun. Artinya, tidak ada batasan ruang lingkup areal/kawasan hutan berdasarkan fungsinya. Di sisi lain, KLHK juga memiliki sasaran strategis yaitu meningkatnya pemanfaatan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan indikator kinerja utama adalah kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB nasional. Bukankah aktivitas pemanfaatan cenderung menyebabkan terjadinya deforestasi?

Misalnya, studi yang dilakukan oleh Putraditama et al. (2019) menyelidiki sejauh mana jenis praktik PHBM di Indonesia dan Hutan Kemasyarakatan (HKm) berhasil mempertahankan tutupan hutan. Temuannya menunjukkan masih ditemukan hilangnya tutupan hutan khususnya pada pemanfaatan diluar wilayah konservasi. Meskipun perlu diketahui lebih lanjut alasan hilangnya tutupan hutan, namun ada indikasi bahwa pemanfaatan cenderung disertai hilangnya tutupan hutan.

Secara statistik, deforestasi bruto di dalam kawasan hutan paling tinggi terjadi di fungsi kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) yaitu sebesar 299,3 ribu ha (64,3%) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yaitu sebesar 39,2 ribu ha (8,4%). Jika merujuk pada definisi dari hutan produksi yang memiliki fungsi pokok memproduksi hasil hutan, maka hal ini makin menguatkan indikasi bahwa aktivitas produksi berbanding lurus dengan deforestasi. Sehingga indikator kinerja utama menurunnya laju deforestasi tanpa batasan ruang lingkup kawasan hutan dinilai akan terus menimbulkan perdebatan.

Ketika IKU dipandang sebagai tujuan akhir dari suatu instansi, maka pilihan pragmatis yang mungkin akan dilakukan adalah mengupayakan agar target IKU tersebut tercapai. Ketika hal tersebut dipilih, maka objektivitas menjadi taruhannya dan tujuannya pun semakin rumit untuk dicapai. Perlu diingat bahwa IKU disusun oleh instansi itu sendiri. Logika dalam menyusun indikator-indikator agar dapat mengukur kinerja secara objektif menjadi penting. Sehingga, ketepatan menentukan indikator kinerja utama yang tidak mendistorsi tujuan dan sasaran dari instansi secara menyeluruh menjadi penting dipahami oleh suatu instansi.

Scroll to Top