publikasi

publikasi

Kerancuan Penetapan Kawasan Terdeforestasi: Definisi Jadi Kunci

bagikan :

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Ibu Siti Nurbaya dalam Workshop Hutan dan Deforestasi (29/01/2018) mengatakan, “sebaran deforestasi terbesar terjadi di hutan produksi karena termasuk kawasan open access”. Hal ini menjadi benar jika melihat definisi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK (2020) melalui data deforestasi Indonesia tahun 2018 – 2019, disebutkan bahwa deforestasi merupakan perubahan tutupan lahan berhutan menjadi non hutan. Namun pertanyaannya, bagaimana deforestasi bisa terjadi pada kawasan yang memang diperuntukkan untuk memproduksi hasil hutan? Atau areal berhutan tersebut alih-alih mengalami deforestasi ternyata hanya degradasi hutan?

Disisi lain akan menimbulkan keraguan dan kebingungan jika mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.70/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, Role of Conservation, Sustainable Management of Forest and Enhacement of Forest Carbon Stocks, pemerintah dengan tegas menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan. Sedangkan hal ini tentu tidak berlaku pada hutan produksi yang akan dilakukan penanaman kembali.

Perbedaan definisi ini menjadi indikasi yang dapat menimbulkan kerancuan dalam penetapan kawasan terdeforestasi. Pendefinisian tersebut akan menjadi tabu ketika melihat situasi objektif. Yang mana situasi tersebut mendorong asumsi-asumsi yang tidak berdasar. Hal ini menjadikan kita kehilangan objektivitas dalam memberikan klaim bahwa hutan tersebut mengalami deforestasi.

Selanjutnya bagaimana mengasumsikan sebuah areal akan kembali menjadi hutan, sehingga itu bukan termasuk dalam deforestasi? Atau bagaimana memastikan areal tersebut permanen tidak berhutan? Seharusnya deforestasi terjadi bukan hanya karena perubahan tutupan hutan, tetapi proses terjadinya deforestasi itu sendiri. Jika perubahan dari tutupan non hutan untuk kembali menjadi hutan merupakan salah satu proses alami dalam suksesi hutan atau dengan kata lain mengembalikan ke kondisi semula, seperti pemulihan hutan yang bermula dari tutupan lahan semak belukar ataupun penanaman kembali di hutan produksi. Perubahan tutupan ini apakah dapat disebut sebagai deforestasi? Atau perubahan tersebut ternyata hanya degradasi hutan?

Oleh karena itu, definisi dan konsep mana yang akan dipublikasikan menjadi penting. Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB menyatakan bahwa deforestasi seharusnya melihat dari arah dan tujuan dari penebangan hutan itu sendiri, hal ini yang selanjutnya menentukan perubahan tersebut akan terjadi secara permanen atau tidak.

“Kita perlu kenali betul proses deforestasi yang terjadi seperti apa. Tidak cukup hanya menyatakan perubahan tutupan hutan menjadi non hutan atau laju kehilangan yang terjadi, tetapi berasal dari hutan yang seberapa luas, bagaimana proses kehilangan hutan yang terjadi serta penggunaan lahan pasca deforestasi.”, menurut Prof. Buce Saleh seorang Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Berdasarkan urian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengeksploitasi hutan yang setelahnya dibiarkan mengalami proses suksesi alam maupun buatan selanjutnya diberikan istilah degradasi. Namun, jika mengeksploitasi hutan yang mengatasnamakan pembangunan nasional untuk tujuan pertumbuhan ekonomi negara selanjutnya diberikan istilah deforestasi.

Scroll to Top