publikasi

publikasi

Tekanan Penurunan Deforestasi Indonesia

bagikan :

oleh : Etrin Herabadi Sunjaya, S. Hut

Kekhawatiran internasional terkait perubahan iklim dan gas rumah kaca memberikan ruang untuk setiap negara membangun komitmen dalam penurunan emisi. Indonesia menjadi salah satu negara kunci dalam mengatasi kekhawatiran tersebut. Baru-baru ini istilah Forest Other and Land Use (FOLU) Net Sink 2030 muncul dengan tiga aksi utama salah satunya penurunan angka deforestasi. Perlu dipahami, angka yang muncul dari tren laju deforestasi ini sebenarnya merupakan salah satu konsekuensi dari definisi deforestasi itu sendiri. Lalu, apa itu deforestasi hingga menjadi kondisi yang harus sangat dihindari. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.30/MENHUT-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) menjelaskan deforestasi adalah pengubahan area hutan menjadi lahan tidak berurutan secara permanen untuk aktivitas manusia. Sebelum memahami definisi tersebut perlu diperhatikan sejarah deforestasi itu sendiri. Hal ini agar dapat membantu dalam melihat perspektif yang memengaruhi terbentuknya istilah deforestasi tersebut.

Kekhawatiran kontemporer pada konversi dan degradasi hutan di daerah tropis terjadi karena hutan tropis hilang 4-5% setiap dekade, tapi penebangan terus dilakukan terutama di Rusia. Pada abad ke-16 sampai ke-17 tukang kayu dan angkatan laut membangun kapal dengan menebang hutan dari Laut Baltik, Amerika Utara bagian timur, Amerika Tengah, dan Karibia. Ekspansi teh di Cina Tenggara, opium di India, kapas di AS, biji-bijian di dataran tengah pampas AS dan Amerika Selatan, kopi dan pisang di Amerika Latin. Semuanya bagian transformasi global ekosistem dunia. Deforestasi kontemporer di daerah tropis hanyalah fase terbaru dari proses panjang itu. Pertengahan abad ke-19, ketika proses industri menyebar ke koloni-koloni terjadi penentangan konversi hutan menjadi pertanian untuk keperluan industri. Kontes ini berkembang pertama kali di India, karena kayu untuk konstruksi kereta api menghabiskan banyak kayu. Pada abad ini sekitar 1939 Indonesia berada pada masa koloni Belanda yang melakukan eksploitasi terhadap 2,5 juta ha (Wiriadinata 2012). Meskipun telah terjadi eksploitasi tersebut pada tahun 1950-an Departemen Kehutanan Indonesia merilis peta vegetasi bahwa 84 persen luas daratan Indonesia sebesar 162.290.000 hektar tertutup hutan primer dan sekunder (Wiriadinata 2012).

Ketika kekhawatiran akan hilangmya tutupan hutan secara besar di berbagai negara semakin melonjak. Departemen kehutanan dari negara-negara mendorong pemerintahnya untuk menasionalisasi dan membatasi akses ke banyak hutan, sehingga melarang penggunaan subsisten yang penting dan mengasingkan pengguna subsisten. Rimbawan kolonial pertama kali mengembangkan narasi perusakan lingkungan yang disebabkan oleh deforestasi yang kemudian digunakan di koloni Afrika hingga di seluruh dunia, termasuk pengguna hutan tradisional (Metz 2009). Pada akhir 1960-an Indonesia mengambil langkah pembentukan HPH sebagai upaya pembangunan ekonomi dan membentuk kerangka kerja legal dalam proses ekspor dan pemanenan kayu, tidak dapat dipungkiri hal ini juga memicu terjadinya deforestasi dan degradasi. Indonesia baru memasuki babak baru masalah deforestasi di sekitar 1970-an, ketika kondisi hutan di negara lain sudah deforestasi secara maksimal.

Pada 1980-an negara-negara dengan hutan yang telah habis seperti India telah mengikuti kebijakan melarang penggunaan subsisten atau hutan secara berlebihan. Sedangkan, Negara-negara kepemilikan besar seperti Brazil dan Indonesia tetap tidak dapat melakukan nol deforestasi karena terkait kebijakan pembangunan. Kemudian pada dua penelitian utama FAO 1990, World Bank 1990 secara tersirat menyatakan bahwa hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara merupakan deforestasi (Sunderlin dan Resosudarmo 1997). Dunia semakin berusaha menekan angka deforestasi ini, terutama pada perubahan iklim yang semakin buruk.

Setelah proses panjang terjadinya deforestasi besar di dunia terutama pada era-industri tersebut, Indonesia harus ikut menanggung konsekuensinya. Ketika pembangunan besar-besaran telah terjadi di negara-negara lain, kini Indonesia dituntut untuk tetap mempertahankan hutan dan harus menekan terus angka deforestasi. Bukan tidak mungkin alasan negara lain tidak lagi melakukan deforestasi justru akibat sudah kehilangan hutannya karena telah terdeforestasi secara besar pada abad sebelumnya. Lalu, haruskah Indonesia menjadi pihak yang tetap mempertahankan hutannya dan tidak lagi melakukan kegiatan deforestasi seperti yang pernah dilakukan negara-negara pada abad sebelumnya?

Scroll to Top