publikasi

publikasi

Logika Penggunaan Istilah Deforestasi Netto

bagikan :

oleh : Muhamad irsyad Kautsar shiddiq, S. Hut

KLHK mengumumkan bahwa deforestasi pada tahun 2019-2020 jauh lebih rendah dibandingkan pada tahun 2018-2019. Penurunan terjadi sebesar 75,03% yang merupakan deforestasi bersih atau neto. Hal ini diklaim sebagai keberhasilan KLHK dalam mengelola hutan, melalui sejumlah kebijakan seperti, moratorium, perhutanan sosial dan lainya.

Klaim pemerintah terhadap penurunan deforestasi tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan LSM dan masyarakat. Misalnya Greenpeace memandang penurunan tersebut dikarenakan faktor pandemi dan luasan hutan yang memang sudah sedikit. YPHI memandang data pemerintah seringkali simpang siur dan tertutup, sehingga sulit untuk menguji kebenaran klaim tersebut.

            KLHK sejak periode 2012-2013 menggunakan istilah deforestasi neto dalam publikasinya. Deforestasi neto merupakan pengurangan angka deforestasi bruto dengan angka reforestasi. Kedua angka tersebut bersifat agregat untuk seluruh provinsi di Indonesia. Pengurangan angka deforestasi dengan reforestasi dimaksudkan untuk mengetahui berapa besar deforestasi sebenarnya. Hal ini juga dimaksudkan untuk melihat kinerja dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Implikasi penggunaan istilah deforestasi neto adalah berkurangnya luas deforestasi.

            Reforestasi menurut KLHK didefinisikan sebagai perubahan kondisi tutupan lahan dari kategori non hutan menjadi penutupan lahan berhutan. Kondisi ini dianalisis berdasarkan interpretasi citra satelit. Dalam definisi ini KLHK memasukan kegiatan penanaman pada hutan tanaman dan juga rehabilitasi lahan baik yang berada di kawasan hutan maupun areal penggunaan lain.

            Reforestasi dan deforestasi secara agregat perlu ditinjau ulang dalam objektifitasnya menggambarkan kondisi hutan. Penelitian Rijal (2016) menunjukan provinsi yang terdata sebagai nol deforestasi atau berkurang ternyata tidak memiliki hutan atau sudah berkurang luas tutupan hutanya. Hal ini menunjukan bahwa di daerah yang tidak terjadi deforestasi tidak berarti kondisi tutupan hutanya baik.

Penggunaan deforestasi neto menjadi bertambah rancu dengan konsep agregat. Ada dua catatan dalam penggunaan istilah tersebut. Pertama, seharusnya istilah deforestasi neto digunakan untuk pengurangan deforestasi oleh reforestasi ditempat yang sama. Hal ini berkaitan dengan fungsi hutan secara ekologi, ekonomi, dan sosial. Hutan yang berbeda tempat tidak bisa menggantikan fungsi tersebut pada tempat yang lain.

Kedua, kondisi tutupan lahan yang disebut reforestasi tidak dijelaskan secara detail. Seharusnya reforestasi yang secara angka dapat mengurangi deforestasi memiliki nilai yang sama. Artinya kondisi tutupan lahan reforestasi sebanding dengan kondisi hutan yang terdeforestasi. Masalahnya data mengenai rehabilitasi dan reforestasi sering kali berupa luas tanam dan jumlah bibit.

            Penggunaan istilah dalam menggambarkan deforestasi setidaknya memiliki dua tujuan. Pertama adalah untuk memperlihatkan pada dunia internasional bahwa Indonesia terus berusaha dalam pengurangan kerusakan hutan. Kedua adalah sebagai baseline pemerintah dalam menentukan strategi dan kebijakan dalam mengelola hutan.

Konsep agregat dan deforestasi neto saat ini dapat digunakan untuk kepentingan komunikasi dengan dunia internasional. Hal ini karena tidak diperlukan data spesifik sebagai bahan komunikasi tersebut. Namun, dalam penentuan strategi pengelolaan hutan hal ini menimbulkan bias dalam menunjukan kondisi hutan. Areal yang memiliki deforestasi rendah menjadi luput dalam rehabilitasi padahal kondisi lahanya sudah tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Oleh karena itu, deforestasi harus dipandang secara spesifik regional.

Rijal (2016) mengusulkan adanya penambahan variabel kondisi awal tutupan hutan dan faktor pendorong deforestasi. Variabel kondisi awal tutupan hutan dapat menghilangkan bias untuk daerah yang hutanya sudah tidak ada. Sedangkan penyebab deforestasi dapat menggambarkan daerah yang terdeforestasi secara terencana dan tidak terencana. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat masih memerlukan lahan hutan.

            Penggunaan istilah deforestasi seharusnya memberikan pemahaman mengenai kondisi objektif hutan, agar dapat dilakukan langkah-langkah strategis dalam mengelola hutan. Jika penggunaan istilah hanya untuk menurunkan angka deforestasi sehingga terlihat berkurang, maka akan menimbulkan kerancuan terhadap kondisi objektif hutan. Seharusnya KLHK mempertimbangkan implikasi penggunaan istilah dan membuat definisi yang dapat menggambarkan kondisi sesungguhnya hutan secara objektif.

            Sebuah pembelajaran dari pandemi Covid-19 pemerintah kerap kali menggunakan istilah yang kurang dipahami oleh masyarakat awam. Hal ini pun harusnya diterapkan dalam penggunaan istilah deforestasi. Masyarakat seharusnya diberikan istilah yang sederhana dan tidak bias. Sehingga, dengan istilah yang mudah dipahami masyarakat tidak mudah terprovokasi dengan berbagai kampanye.

Scroll to Top