Ironi Kawasan Hutan

bagikan :

Sejak berabad-abad lalu, bumi Indonesia telah dihuni oleh masyarakat. Sejak sebelum berganti nama menjadi Indonesia, masyarakat telah ada dan hidup di dalamnya. Jika dilihat sejarahnya, masyarakat Indonesia sejak dulu telah memanfaatkan dan tinggal hidup dalam hutan. Lalu sekarang, bagaimana kehidupan masyarakat di hutan?

Sejak merdeka, negara memegang kekuasaan atas tanah. Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan, “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lalu pada tahun 1960, pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menjadi angin segar untuk pengakuan hak atas tanah adat.

Istilah kawasan hutan ada sejak ditetapkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1967. Kawasan hutan ini ditetapkan oleh Menteri yang mengurusi bidang kehutanan. Adapun pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui empat tahapan yaitu penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Namun dalam praktiknya, proses pengukuhan kawasan hutan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Saat ini yang terjadi justru ‘klaim’ kawasan hutan hanya dari penunjukan.

Praktik kebijakan kehutanan nyatanya kembali melemahkan hak-hak adat yang telah ada dan diakui oleh negara (UUPA). Praktik pemerintah yang demikian dapat dianggap perilaku yang ‘lebih Belanda daripada Belanda’. Klaim tanah yang dilakukan Belanda melalui Domein Verklaring terbatas pada tanah-tanah yang belum dikuasai atau belum mempunyai status hak milik. Sementara klaim atas kawasan hutan justru banyak memakan tanah atau lahan yang telah dikuasai oleh masyarakat.

Hingga saat ini, lebih dari 120 juta ha (60%) luas daratan Indonesia dijadikan sebagai kawasan hutan. Kawasan hutan ini dikuasai oleh negara dan karenanya membatasi akses penguasaan dan penggunaan oleh masyarakat. Adapun masyarakat dapat menguasai kawasan hutan tersebut dengan mekanisme tertentu melalui program Reforma Agraria atau persetujuan Perhutanan Sosial. Untuk mendapatkan salah satu bentuk penguasaan tersebut, kebutuhan biaya yang besar dan persyaratan yang rumit menjadi persoalan tersendiri bagi masyarakat.

Ironi tersebut jelas membatasi ruang hidup masyarakat Indonesia yang tergantung dari hutan (di kawasan hutan). Penguasaan negara yang sangat besar dan belum tentu benar menyebabkan kesejahteraan masyarakat sulit dicapai. Bahkan PDB sektor kehutanan sendiri hanya mampu menyumbang kurang dari 1 (satu) persen terhadap PDB nasional. Selain itu, akses terhadap kawasan hutan lebih banyak dimiliki oleh orang-orang yang bermodal besar. Sampai tahun 2022, dari 53 juta ha kawasan hutan yang mendapatkan izin, 95% diantaranya dikuasai oleh korporasi.

Hingga saat ini, kondisi tersebut tidak berubah. Masyarakat tetap miskin dan hutan tidak lestari. Padahal tujuan penyelenggaraan kehutanan adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, yang utama dan paling utama harus mendapatkan manfaat dari kawasan hutan adalah “rakyat”. Bukan hanya sebagian kecil rakyat, tapi rakyat secara keseluruhan.

Reformasi Kehutanan diperlukan untuk mengembalikan tujuan penyelenggaraan kehutanan. Salah satunya melalui distribusi dan realokasi yang berkeadilan. Masyarakat harus dipandang sebagai yang utama dalam menjalankan tujuan itu. kawasan hutan bukan tentang seberapa besar penguasaannya, tapi seberapa besar kebermanfaatan itu diterima.

FORCI

Center for Forestry Organizational Capacity and Institutional Studies